Kamus Feminis: Sojourner Truth Melawan Perbudakan dan Penindasan Gender dan Ras - Konde.co (2024)

Konde.co menyajikan kamus feminis sebulan sekali. Kamus feminis berisi kata-kata feminis agar lebih mudah dipahami pembaca.

Feminisme sesungguhnya memperjuangkan apa? Feminisme sebetulnya untuk siapa? Ia lebih kompleks dari ‘sekadar’ tuntutan hak-hak perempuan. Lawannya adalah penindasan kelas dan perbudakan.

Bukan hanya milik perempuan berkulit putih. Feminisme adalah milik dan untuk semua perempuan dan kelompok tertindas. Termasuk orang dengan ragam warna kulit. Itulah yang ditekankan oleh feminis Sojourner Truth—sekaligus tamparan bagi para ‘feminis’ yang kerap melupakan interseksionalitas perempuan.

Sojourner Truth ‘menggebrak’ feminisme gelombang pertama lewat pidatonya, ‘Ain’t I a Woman?’. Truth sendiri adalah perempuan berkulit hitam yang pernah menjadi budak di Ulster County, New York, pada tahun 1797. Pelarian dan usahanya menuntut majikan yang merampas hak-haknya, membuat Truth sadar bahwa takdirnya adalah melawan perbudakan. Itulah feminisme baginya: pembebasan diri dari perbudakan dan penindasan.

Sojourner Truth dan Perjuangan Melawan Perbudakan

Pada tahun 1797, seorang perempuan berkulit hitam lahir dengan nama Isabella Baumfree. Ia kemudian lebih dikenal dengan nama buatannya sendiri: Sojourner Truth. Lahir dan besar sebagai budak, Truth tercatat sebagai salah satu sosok perempuan Afrika-Amerika pertama yang hadir di tengah gelombang pertama feminisme.

Sojourner Truth telah diperbudak sejak tahun 1797 di Ulster County, New York. Ia sudah diperdagangkan sebanyak empat kali. Truth bertemu dan berhubungan dengan seorang budak laki-laki; mereka lalu memiliki lima anak sejak 1815. Selama menjadi budak, Truth kerap diberi pekerjaan fisik yang berat, hingga melalui hukuman yang menyiksa. Majikannya berjanji akan membebaskan Truth pada 4 Juli 1826, jika ia ‘berperilaku baik dan setia’. Namun, Truth tidak kunjung diberikan kebebasan tersebut.

Maka, pada 1827, Truth dan salah satu anaknya yang masih kecil, Sophia, kabur dengan berjalan kaki puluhan kilometer mencari bantuan. Pada tahun tersebut, hukum anti-perbudakan di New York belum sepenuhnya diimplementasikan. Mereka bertemu Isaac dan Maria Van Wagenen yang abolisionis atau menentang perbudakan. Keluarga Van Wagenen membayar 20 Dollar kepada majikan Truth sampai pemberlakuan Undang-Undang Anti-Perbudakan New York, untuk membebaskan perempuan itu.

sem*ntara itu, sang majikan malah menjual anak laki-laki Truth, Peter, yang saat itu berusia lima tahun, sebagai budak ilegal di Alabama. Peter dijual setelah UU Anti-Perbudakan disahkan. Truth menuntut Dumont, sang majikan, untuk mengembalikan anaknya. Beberapa bulan kemudian, Truth memenangkan kasus tersebut. Ia menjadi perempuan kulit hitam pertama yang menuntut laki-laki kulit putih di pengadilan Amerika Serikat—dan menang.

Baca Juga: Kamus Feminis: Stop Mendikotomi ‘Perempuan Baik Versus Perempuan Buruk’

Pengalamannya menjadi budak membuat Truth sadar bahwa ia harus melawan. Setelah bebas dari perbudakan, Truth pindah ke New York City pada 1828 dan bekerja untuk menteri setempat. Ia juga bergabung dengan gerakan relijius yang membentuknya menjadi pembicara karismatik di awal 1830-an. Pada 1843, Isabella Baumfree merasa ada ‘panggilan spiritual’ baginya untuk menyampaikan kebenaran. Ia pun mengganti namanya menjadi Sojourner Truth dan menjadi seorang aktivis penghapusan perbudakan.

Truth tidak dapat membaca maupun menulis. Namun semangatnya mendorong Truth untuk gencar berpidato tentang kejinya perbudakan. Ia bertemu dengan tokoh abolisionis William Lloyd Garrison dan Frederick Douglass, yang mendukungnya untuk terus bersuara. Lalu di tahun 1850, Truth memiliki buku autobiografi sendiri berjudul ‘The Narrative of Sojourner Truth’, dengan publikasi dibantu oleh Olivia Gilbert. Autobiografi ini melambungkan nama Truth di tingkat nasional dan mempertemukannya dengan para aktivis perempuan.

Ain’t I a Woman?

Sojourner Truth berbicara di konferensi perempuan di Akron, Ohio, pada 1851. Konferensi tersebut berlangsung tiga tahun setelah Konvensi Hak-Hak Perempuan di Seneca Falls, New York. Dalam kesempatan itu, Truth disebut menyampaikan pidato yang kemudian dijuluki, ‘Ain’t I a Woman?’. Ia menekankan arti dari menjadi perempuan Afrika-Amerika di abad ke-19. Lewat ‘Ain’t I a Woman?’ Sojourner Truth menantang inferioritas dan ketimpangan ras dan gender yang muncul dalam perjuangan feminisme.

Ada dua poin yang digarisbawahi Truth dalam pidatonya. Pertama, orang-orang kerap lupa bahwa perempuan Afrika-Amerika juga adalah perempuan. Kedua, pengalaman para perempuan Afrika-Amerika yang diperbudak tentu berbeda dari para perempuan borjuis kulit putih. Pidatonya menyentuh hati para audiens, tetapi juga membuatnya berpisah jalan dengan Frederick Douglass. Sebab, Douglass percaya bahwa hak laki-laki tetap harus diutamakan dalam perjuangan melawan perbudakan.

Baca Juga: Kamus Feminis: Apa Itu Male Gaze? Objektifikasi Perempuan di Media untuk Penuhi Hasrat Laki-Laki

Salah satu pidato Truth memuat kata-kata yang paling tepat menggambarkan perjuangannya sebagai perempuan kulit hitam.

Children, who made your skin white? Was it not God? Who made mine Black? Was it not the same God? Am I to blame, therefore, because my skin is Black? …. Does not God love colored children as well as white children? And did not the same Savior die to save one as well as the other?

(“Anak-anak, siapa yang membuat kulitmu putih? Bukankah itu Tuhan? Siapa yang membuatku hitam? Bukankah itu Tuhan yang sama? Adakah salahku, kalau begitu, karena kulitku hitam? … Tidakkah Tuhan mencintai anak-anak dengan ragam warna kulit sebagaimana anak-anak kulit putih? Dan tidakkah Juru Selamat yang sama menyelamatkan salah satu sebagaimana yang lainnya?”)

Saat Perang Saudara terjadi di Amerika, Truth berkontribusi dalam rekrutmen pasukan kulit hitam untuk Union Army. Ia juga berupaya mengamankan pemberian lahan dari Pemerintah Federal untuk para mantan budak, meski gagal. Sojourner Truth terus gencar berpidato menuntut kesetaraan gender dan ras hingga akhir hayatnya. Ia wafat pada 26 November 1883 di kediamannya di Michigan.

Truth mewariskan keberanian, kepercayaan, dan perjuangan hak-hak perempuan dan masyarakat sipil yang tertindas. Kisahnya menjadi pemicu semangat feminisme yang lantang bersuara untuk kebenaran. Feminisme mesti inklusif dalam perlawanan atas penindasan.

(sumber foto: U.S. National Park Service)

Kamus Feminis: Sojourner Truth Melawan Perbudakan dan Penindasan Gender dan Ras - Konde.co (2024)
Top Articles
Latest Posts
Article information

Author: Golda Nolan II

Last Updated:

Views: 6232

Rating: 4.8 / 5 (78 voted)

Reviews: 93% of readers found this page helpful

Author information

Name: Golda Nolan II

Birthday: 1998-05-14

Address: Suite 369 9754 Roberts Pines, West Benitaburgh, NM 69180-7958

Phone: +522993866487

Job: Sales Executive

Hobby: Worldbuilding, Shopping, Quilting, Cooking, Homebrewing, Leather crafting, Pet

Introduction: My name is Golda Nolan II, I am a thoughtful, clever, cute, jolly, brave, powerful, splendid person who loves writing and wants to share my knowledge and understanding with you.